Senin, 18 Februari 2013

18 Februari 2013. 20:03


Lima puluh lima menit yang lalu aku masih terbaring tak bertenaga. Tidak, aku tidak sakit. Mungkin ya, sedikit. Kaki kiriku serasa mau remuk. Efek berlari-lari mengejar dosen di kampus. Tapi itu 55 menit yang lalu. Kini aku duduk di depan laptop merah kesayangan. Terinspirasi dari pesan singkat seorang kawan yang bercerita mengenai blog barunya, tiba-tiba aku ingat sudah hampir setahun aku tak menengok blog ini. Mungkin sudah dipenuhi dengan sulaman jaring laba-laba, atau debu di berbagai sudut layar. Atau mungkin juga blog ini sudah berjamur. Satu-satunya apologi yang bisa kuberikan hanyalah, sibuk.
Aku sangat ingin menulis sekarang. Jujur, tidak ada ide. Tapi jujur juga, aku bosan merangkai kata-kata ilmiah dalam skripsiku. Sudah lebih dari 100 halaman yang kurangkai berdampingan dengan angka dan grafik di dalamnya, namun tak satupun dari kalimat-kalimat itu yang kutulis dengan hati. Lucu memang. Tapi benar, aku tidak pernah benar-benar jatuh cinta pada Hubungan Internasional. Satu-satunya yang kusukai dari studi itu hanyalah fakta bahwa politik yang diajarkan di dalamnya, juga mengajariku berpolitik dalam kehidupan nyata. Aku jadi (lebih) tahu bagaimana menghadapi manusia-manusia di muka bumi yang penuh dengan kepentingan pribadi. Dan hebatnya lagi, aku jadi (lebih) tahu bagaimana cara menggolkan kepentinganku dengan cara yang lembut.
Baik, kembali ke ide. Benar, aku tidak punya ide saat ini. Bahkan memasuki paragraf ke tiga, katakanlah tulisan ini masih berupa sampah. Sampah yang merayap di otakku, lalu kumuntahkan melalui jari. Sampai pada akhirnya jari-jari ini memberontak dan menyeretku pada sebuah folder di Drive C. Folder dengan nama “tulisanku” yang memuat sebagian besar kisahku dan sampah-sampah lain dalam diriku yang tak pernah tersampaikan.
Aku mulai membaca beberapa tulisan. Seperti telah berkoordinasi baik dengan hati dan otak, tulisan yang dipilih oleh jariku adalah tulisan-tulisan yang kubuat untukmu, juga sebaliknya. Entah apa yang mendorongku melakukan ini. Membaca beberapa tulisan yang dulu sempat menggugah, mengguncang, sekaligus menginspirasi hatiku. Tulisan darimu. Tulisanku untukmu. Tulisan yang bisa merangkum dari awal perkenalan kita, hingga kini ketika kita bersama. Kubaca secara acak. Sebagian kubaca serius, dan sebagian kuloncati karena aku hafal dengan baik apa yang kau dan aku tuliskan. Setelah membaca hampir keseluruhan kisah, satu hal yang kusadari. Tulisan-tulisan itu penuh dengan kebohongan. Sampah. Tulisan-tulisan itu adalah tameng yang sengaja kita rangkai dengan rapat sejak dari dalam otak hingga di atas keyboard. Tulisan-tulisan itu penuh dengan kebohongan yang seharusnya membuat kita saling menggugat.
Aku membohongimu dengan manisnya dan berkata betapa tidak berharganya kau sebagai seorang yang tak pernah lebih penting dari sekedar teman. Betapa aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu apapun yang terjadi. Betapa kau bukan tipeku (untuk yang satu ini bukan kebohongan). Iya, lebih dari itu, 80% yang kuceritakan padamu adalah kebohongan. Kebohongan yang kulakukan secara (mungkin) tak sengaja hanya untuk menutupi rasa takutku. Kenyataan bahwa aku sangat menyukaimu sejak dulu membuatku muak dan merasa konyol. Tidak ada hal yang lebih memuakkan selain jatuh cinta pada pria yang tidak memiliki hati dan tidak pernah menganggap bahwa ia akan membutuhkan kekasih. Benar, bagimu, cinta hanya akan menjauhkanmu dari tujuan hidupmu. Dan labeling atas cinta hanya budaya absurd hasil turunan dari sejarah patriarki peradaban umat manusia atas kasih sayang. Kau menempatkan dirimu sebagai orang normal di antara manusia normal lain yang kau sebut aneh. Seolah kau kemudian menjadi aneh bukan karena kau aneh, namun karena mereka yang terlalu mainstream. Aku membaca kata demi kata yang kau tulis dalam “Makhluk Relatif” di blogmu. Kucermati tiap ide dan sanggahan. Tiap penjelasan dan tiap rasionalisasimu.
Mereview kembali apa yang kau tulis di “Makhluk Relatif”.Kau mempertanyakan tentang kegunaan pacaran. Katamu, kau tidak butuh pacar dan juga tidak memiliki rasa cinta. Bagimu untuk mendapatkan hal lebih yang diberikan seorang wanita terhadap kekasihnya tidak perlu melalui pacaran. Manusia adalah makhluk relatif yang kesetiaannya diragukan. Karena itu kau menganggap setia pada seorang manusia adalah pengorbanan yang sia-sia. Jika hanya untuk berciuman, berpelukan, bercinta dan mendapat perhatian, tidak perlu dengan seorang pacar. Semakin kau berpikir, kau semakin yakin bahwa masih ada manusia yang tidak memiliki cinta, dan kaulah salah satu dari jenis manusia itu. Menurutmu, berpacaran adalah fase lain dari penderitaan. Hingga dengan bangganya kau berkata, “Aku merasa menjadi orang yang aneh di tengah orang yang menganggap cinta itu ada dan harus ada. Karena ketiadaan dalam keberadaan akan menjadi pembeda dalam suatu kelompok. Dan itu aku.”  Namun, lihatlah dirimu sekarang.
Tidak, tulisanku ini bukan suatu bentuk gugatan atas dirimu. Jangan pula melihat ini sebagai bentuk tulisan yang se-ide namun berlawanan argumen dengan yang kau tuliskan. Aku hanya merasa perlu menuliskan suatu gugatan atas kepongahan seseorang menilai manusia lain di sekitarnya. Kengkuhan dalam tulisanmu menempatkan dirimu sebagai yang Maha Benar kala itu. Tulisanmu jelas mampu mencuci otak manusia lain yang membacanya tanpa mengenalmu. Namun sekali lagi, nyatanya makhluk yang menuliskannya adalah seorang manusia. Manusia yang kau gambarkan tidak akan pernah bisa setia, tidak bisa dipercaya, dan selalu berubah-ubah. Manusia yang bisa menyucikan dirinya sendiri dalam keadaan terburuk setelah perpisahan sekalipun. Manusia yang kau sebut makhluk relatif. Manusia yang secara utuh adalah kau sendiri. Benar, menurutku, kaulah makhluk yang paling relatif dari kisah makhluk relatif yang kau tulis. Atau jika kau menyanggahnya, berarti hidup kita sekaranglah yang sebenarnya merupakan kisah kebohongan lain yang tak sempat ditulis. Semoga tidak.

Ditulis dalam dinginnya gerimis malam
Ditemani perasaan tak bermakna akan harapan
Yang aku tidak tahu itu ada atau tidak
                                                                                                                        Selalu Mencintaimu

Sabtu, 12 Mei 2012

Lelaki Terhebat


“Seorang Ayah yang memelukmu setelah memarahi kenakalanmu,
 itulah Ayah yang sesungguhnya.”
Sejak kecil aku tumbuh sebagai sosok yang manja. Seorang anak terakhir, juga seorang adik. Papa adalah orang yang paling berperan dalam kemanjaanku. Terhadapnya, aku selalu merasa dinomorsatukan. Dulu, tidak ada orang lain yang boleh memandikanku selain papa. Juga tidak ada yang boleh mencebokku selain papa. Karenanya, aku pernah terlantar selama 3 jam di kamar mandi hingga tertidur dalam posisi jongkok. Bahkan saat kecil, aku tak bisa tidur jika tidak didekap di ketiaknya. Memeluk dan dipeluk olehnya selalu memberiku rasa nyaman tersendiri.
            Papa sangat sibuk. Dulu, bertemu dengannya beberapa bulan sekali adalah hal yang lumrah. Ia sering pergi ke daerah konflik ‘tuk berperang, melanjutkan sekolah untuk naik pangkat, bahkan dipindahkan dinasnya ke kota lain. Tak heran jika keluarga kami sangat akrab dengan yang namanya adaptasi. Di tengah kerinduanku pada Papa ketika ia tak ada, aku kerap melakukan hal-hal yang kini kusadari sangat konyol. Ada sebuah kaos yang papa pakai sebelum ia berangkat ke Timor-Timur (kini Timor Leste). Kaos itu adalah peneman tidurku tiap malam, selama setahun. Kaos itu tidak pernah dicuci. Di kaos itu, aku bisa merasakan aroma tubuh papa. Memeluk kaos itu membuatku dapat merasakan kehadirannya. Tidak hanya kaos, aku juga membawa foto papa kemana-mana. Menunjukkannya pada teman-teman di sekolah, dan meletakkannya di meja ketika pelajaran berlangsung. Pernah ada seorang teman yang mengolokku dan berkata bahwa papa adalah tentara gadungan. Aku hanya bisa pulang dan menangis, mengadu pada mama betapa jahatnya dia. Sejak saat itu, aku membencinya
Ketika merindukan papa, aku juga menyempatkan diri untuk menulis surat. Surat yang berisi kepolosan anak kecil yang dengan lugasnya dapat mengucap rindu sekaligus meminta tas baru. Dan beberapa bulan lalu, aku menemukan sepucuk surat yang sudah lusuh tersimpan rapi di lemari Papa. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang nyaris tak bisa dibaca. Tanda baca berantakan, diksi tidak tepat, serta spasi yang tak tentu arah. Ya, itulah surat dariku untuknya. Yang kutulis di kelas 2 SD, dan hingga saat ini masih disimpan olehnya. Surat itu kutulis ketika ia pendidikan di Bandung, sementara kami sekeluarga masih berdomisili di Ambon.
            Papa seperti ATM sekaligus toserba untukku. Semua yang kuinginkan ada padanya. Materi yang kubutuhkan dipenuhi olehnya. Ia juga merupakan pacar bagiku ketika SMP. Kami nonton bersama, beli pakaian bersama, dan bernyanyi bersama. Ialah yang mengajariku cara mengendarai sepeda, motor, hingga mobil. Ia yang melarangku menangis ketika jatuh, agar aku menjadi anak yang kuat. Ia menjadi orang yang mendorongku ke kolam renang untuk pertama kalinya. Mengajariku menggunakan raket tenis dan bulutangkis, mengajariku memainkan tuts-tuts organ, juga mengenalkanku pada ABBA.
            Sebagai seorang tentara yang terbiasa dengan kedisiplinan, papa sebenarnya bukan orang yang sabar. Konon di kantor, ia terkenal galak. Tapi, aku tak pernah melihatnya sebagai tentara. Memang kenakalanku ketika kecil kerap kali membuatnya murka, hingga memukulku. Bahkan ia pernah mendaratkan hanger di tubuhku hingga patah berkeping-keping. Namun itu murni karena kenakalanku. Mendorong anak orang ke dalam got, menjambak rambut mereka, hingga memaksa mereka memegang ulat bulu, itulah kegiatanku sehari-hari. Tak heran jika hampir tiap jam ada saja tetangga yang melaporkan kenakalanku. Dan tetap saja, setelah memukulku, Papa lah yang memeluk tangisanku terlebih dahulu. Benar, kami sangat dekat.
            Jika ditanya siapa sahabat masa kecilku, jawabanku tidak ada. Tempat tinggal yang berpindah-pindah membuatku tak pernah punya waktu khusus untuk bersahabat dengan seseorang. Tapi tak masalah. Papa saja sudah cukup.
Pernah suatu kali aku bertanya tentang kisah cintanya sebelum bertemu mama. Wow, papaku ternyata seorang playboy! Ia mengencani banyak wanita, diidolai banyak wanita, menjadi anak band, dan juga sangat nakal. Ia bahkan pernah menjual sepatu dinas ayahnya untuk bersenang-senang. Di jamannya, ia adalah anak lelaki yang sangat suka bergaul. Semua kenakalan remaja pria, telah ia cicipi. Maka kini tak heran, ketika berkaca aku melihat sosok papa muda di dalam diriku.
            He is untold. Aku sangat menyukai papa. Sesekali bertengkar adalah wajar diantara kami. Sebab, itulah yang seharusnya dilakukan ayah dan anak, berbagi dan berdebat. Hingga aku berada di bangku kuliah seperti saat ini, kami masih tetap berteman baik. Aku membagi cerita padanya tentang pria-pria yang kukenal. Meminta sarannya, dan jika memungkinkan, pasti mengenalkan mereka padanya. Ia selalu bersekongkol denganku ketika aku memutuskan untuk berlibur ke luar kota. Yah, mau bagaimana lagi, mama adalah seorang perempuan rumahan. Yang selalu mengomel ketika melihat anaknya memanjangkan kaki. Tapi sesekali tetap mengirimkan bantuan materi ketika anaknya terlantar di kota asing.
Kelak, jika Tuhan mengijinkanku ‘tuk memilih sendiri seorang suami, aku akan memilih yang menyerupai papa. Cukup menyerupai saja. Sebab, aku tahu tidak ada yang sepertinya di dunia ini. Ia tidak akan pernah tergantikan. Tentangnya, ada satu hal yang tak pernah kulupakan. Ia pernah berkata bahwa aku harus menjalani apapun yang kuyakini. Ia sebagai orang tua, tidak akan melarang. Namun wajib bagiku, sebagai anak, untuk memberikan pertanggungjawaban untuk tiap keputusan yang kuambil. Papa benar-benar keren. Ialah yang mengajariku bagaimana cara paling tepat untuk menikmati hidup dan bersenang-senang. Bahkan hingga kini, di umurnya yang menginjak 51 tahun, tak ada yang berubah dari dirinya. Selain uban yang sudah mulai tumbuh dan kerutan yang mulai melipit di wajahnya, ia tetap tampak sama. Seorang papa yang luar biasa.[]

Senin, 30 April 2012

Surat dari Seorang Manusia


Aku menganggap tulisan ini sebagai sebuah surat. Surat yang ditulis oleh seseorang yang paling manusiawi dari para manusia. Paling hangat dari mereka yang mengaku hangat. Dan paling bodoh dari sekian banyak teman bodoh yang kukenal.

Senin, 21 Februari 2011, 23:09

Aku merasa menjadi manusia sekarang, mungkin hanya malam ini. Manusia yang kata orang bisa merasakan kesedihan. Manusia yang bisa merasa kehilangan, dikhiananti dan merasa terkucilkan.

Kemarin, ia mengutarakan apa yang dia rasakan kepadaku. Rasa suka terhadap orang lain, itu yang dia ceritakan. Aku tidak mengenal orang yang dia suka. Pun tidak membencinya. Dan bahkan aku tidak membenci siapapun ketika ia menceritakan itu. Aku anggap adalah hal yang wajar ketika seseorang menyukai orang lain.

Malam ini berbeda, entah apa yang merasuki ku, aku pun menjadi layaknya manusia yang utuh lengkap dengan kesedihan. Ini sedih, rasa yang pernah aku buang jauh-jauh kala itu. Ternyata sedih itu tidak hilang, dia ada sekarang, menggantikan rasionalitas yang aku gadang-gadang dewasa ini. Aku merasakan bangunan piramid atas nama rasionalitas runtuh malam ini.

“Siapa yang gak sedih kala orang yang selama ini ada disamping kita memilih pergi dengan orang lain?”

Itu kata yang muncul kala itu, dan jelas aku tampik mentah-mentah. “Aku tidak butuh pacar,” jawabku. Manusia bebas, sebebas aku tidak bisa terikat dengan aturan apa lagi kesetiaan. Aku bak musafir yang pergi untuk memuaskan nafsu akan nikmatnya sebuah perjalanan. 

“Bagaimana aku bisa puas kalau ada rasa setia?” celetukku.

Tapi malam ini berbeda. Aku sedih dan menjadi manusia.

Hai kawan, untuk siapapun surat itu kau tujukan, kau tahu bahwa dirimu lebih dari yang kau gambarkan di dalamnya. Dan ia, yang kau ceritakan di dalam surat itu, sebenarnya sangat bodoh karena tidak mau tahu akan keberadaanmu.

Pengerangkengan Si Shopaholic


“Rebecca Bloomwood atau yang akrab disapa Becky, dengan semangatnya berjalan memasuki toko-toko pakaian ternama. Tiap ia keluar dari toko-toko tersebut, bukan satu atau dua bagstore yang ia bawa. Tapi bisa lebih dari itu. Hasratnya akan kepemilikan barang indah, berkilau, dan menarik bisa terpenuhi dengan mudah berkat adanya sebuah kartu ajaib bernama credit card (kartu kredit). Kartu kredit adalah perahu yang membawanya mengarungi kegilaan hasratnya dalam berbelanja. Jaket: Visa, gaun: AMEX, sabuk: MasterCard! Tak ketinggalan, tasnya pun berlabel Gucci yang harganya tentu sangat mahal. Konon, kepuasan yang ia dapat setelah berbelanja rasanya seperti kepuasan yang ia dapat ketika pria yang ia sukai tersenyum padanya. Hatinya mencair seketika. Begitu juga yang ia rasakan ketika melihat toko. Oh, tidak! Bahkan toko lebih baik dari itu! Pria tetap tidak bisa menyaingi toko. Baginya, aroma toko selalu harum. Membangkitkan gairah untuk membeli tas yang tidak diperlukan.  Dan membuat si shopaholic ini lupa diri. Belanja bisa membuatnya lupa pada pria, jumlah saldo rekeningnya, dan membuatnya merasa mendapat sebuah identitas baru. Dalam gaun-gaun, tas, syal, dan sepatu mahal itu, ia merasa tampil sempurna. Layaknya seorang peri atau putri. Baginya, keberadaan sebuah syal yang indah akan membantunya tampil maksimal dalam sebuah wawancara kerja dan membuatnya setara dengan para pesohor fesyen di kantor majalah Allete tempat karir impiannya. Bahkan ketika kantor majalah tanaman tempatnya bekerja saat itu sebagai seorang jurnalis menggalami kebangkrutan, ia tetap tidak bisa menghentikan kegilaan belanjanya. Segala produk kapitalisme olahan negara maju itu pada akhirnya membawanya pada lilitan hutang sebesar $16.262,70 atau kurang lebih Rp 159.374.460,00 (dalam kurs 1$ = Rp9.800,00) yang harus ia bayar dengan status sebagai pengangguran ![1]
          Membaca sepenggal kisah dalam film Confessions of A Shopaholic di atas rasanya secara tidak langsung membenarkan teori yang beranggapan bahwa hasrat adalah energi buruk yang dapat mengganggu tatanan sosial.[2] Karena hasrat belanjanya yang berlimpah, Becky pada akhirnya mendapatkan musibah berupa lilitan hutang dari kesenangan sesaat yang ia rasakan ketika berbelanja. Menurut Sigmund Freud, hasrat sendiri lahir dari adanya ketidaksadaran. Freud, menggeledah hasrat pada wilayah ketidaksadaran dan menemukan hasrat primordial yang liar, disruptif, instingtual, dan irasional.  Sifat liar dari  hasrat ini dilihat sebagai kandungan ketidaksadaran yang mesti “dipotong” arus pertumbuhannya karena bisa membahayakan otoritas Ego. Dalam pengertian ini, Ego merupakan bagian dari diri yang sudah disadari atau bisa dibilang, bagian yang berfungsi sebagai kesadaran dalam pembentukan diri. Dan hasrat yang dimiliki oleh Becky jelas sekali terlihat telah menyinggung otoritas ego yang dimilikinya. Hasrat yang ia miliki membuatnya jauh dari kesadaran dan hanya mementingkan identitas serta kepuasan diri. Dan bahkan setelah ia sadarpun, hasrat itu tak lagi terbendung.

Hasrat Akan Identitas
       Hasrat yang dimiliki Becky adalah hasrat akan identitas yang sudah tentu, hasrat ini tidak autentik lagi. Hasrat ini sudah lain sama sekali dari apa yang dilahirkan oleh  ketidaksadaran. Berangkat dari wacana sosial, hasrat asali ditransformasi lewat filterisasi jejaring pencitraan, menjadi hasrat yang tidak autentik lagi. Pada tataran kesadaran, identitas selalu merupakan hasrat terhadap “liyan” (the other). Dalam tahap ini, ego tidak hanya kehilangan kejernihannya dalam membedakan hasrat akan identitas dirinya dengan hasrat akan identitas orang lain, tetapi mencampuradukkan hasrat akan identitasnya dengan hasrat akan identitas orang lain. Ironisnya, hasrat akan identitas secara tidak langsung mendatangkan korban atau tumbal baru.
Identitas keakuan lah yang menjadi tumbal baru tersebut dalam pencarian definisi diri. Sebab, hasrat untuk memiliki identitas sebagai bentuk dari mendapat pengakuan, mendorong Ego untuk meyakini dirinya sebagai objek. Keinginan Becky untuk membeli barang-barang mewah itu bukan karena ia membutuhkan barang tersebut. Tapi lebih karena barang mewah tersebut memberikan sense of identity bagi orang yang memilikinya. Dengan memiliki barang-barang tersebut, Becky akan merasa bahwa dirinya setara dengan para pesohor fesyen dan dirinya layak diterima untuk bekerja di Allete Magazine yang memang berbasis fesyen.
Keinginan Becky untuk memiliki identitas yang lebih bisa diterima itu membuat ia mencampuradukkan identitas dirinya yang asli dengan identitas orang yang ia ingin-jadi-seperti. Dan tumbal dari semua itu adalah dirinya sendiri. Ketika ia memakai pakaian mewah yang seharusnya di luar jangkauannya, orang akan melihat dirinya setara dengan tokoh fesyen yang  memang senantiasa berdandan mewah. Bukan sebagai Rebecca Bloomwood yang bekerja sebagai seorang jurnalis di majalah tanaman biasa. Dan di saat orang lain merasa bahwa apa yang ia kenakan tidak cocok atau kurang cocok dengannya, ia akan memikirkan kembali cara berpenampilannya. Bisa jadi, ia membeli aksesoris lain yang ia rasa “butuh” sebagai pemercantik penampilannya. Tanggapan bermacam-macam seperti inilah yang disebut dengan bentuk konkret pengakuan orang lain akan identitas seseorang (dalam contoh ini, Becky). Keberadaan pengakuan tersebut mengoreksi dan menentukan hasrat akan identitas subjek. Dan ketika orang lain memiliki tanggapan yang berbeda-beda, tanggapan yang ambigu ini membuat permintaan selalu berulang-ulang. Akibatnya, hasrat Becky akan kesempurnaan penampilan hingga titik tertinggi identitas diri yang ia inginkan, tidak akan pernah terpuaskan.
          Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa hasrat selalu berada “di luar” dan “sebelum” kebutuhan. Pengertian hasrat sebagai prinsip yang berada di luar kebutuhan berarti bahwa hasrat melampaui kebutuhan dan tidak dapat diterjemahkan secara terpisah oleh kebutuhan. Maka, hasrat akan selalu tidak terpuaskan oleh pemenuhan kebutuhan yang sifatnya dangkal. Sedangkan hasrat yang dimengerti sebagai prinsip yang berada sebelum kebutuhan berarti bahwa hasrat memunculkan kebutuhan. Contoh, tiap kali Becky berbelanja, ia merasa bahwa ia memang membutuhkan barang tersebut atau setidaknya, suatu saat nanti ia pasti akan membutuhkan barang tersebut. Dan karena itu dirasa sebagai kebutuhan, maka ia harus membelinya. Fenomena ini juga berlaku terhadap hasrat akan identitas. Hasrat akan identitas yang sama akan muncul kembali setelah suatu kebutuhan tidak terpuaskan untuk mencari pemenuhan kebutuhan yang lain sampai tidak terbatas. Pada tingkat ini, hasrat akan identitas bisa disebut sebagai sebuah kekurangan absolut.[3]
Pengerangkengan Hasrat
           Dalam psikoanalisis, Becky dikategorikan sebagai manusia neurosis, yaitu manusia yang tidak mampu memfilterisasi arus hasrat irasional sehingga muncul di wilayah kesadaran. Hasrat irasionalnya ketika membelanjakan uang terus-menerus untuk barang yang tidak diperlukan mungkin memang berangkat dari ketidaksadarannya. Hasrat yang muncul itu berada di luar logikanya. Namun, lama-kelamaan hasrat belanja ini seolah membiasakan dirinya untuk terus melakukan hal yang sama sehingga menjadi suatu kebiasaan. Hingga di titik kesadaran pun, kesadaran yang dimilikinya tidak bisa membendung hasrat yang ada. Untuk orang-orang seperti Becky, Freud membangun psikoanalisis sebagai tempat rehabilitasi. Dalam tempat rehabilitasi ini, manusia neurosis ditelaah sebagai objek yang hasratnya masih liar. Dan untuk memotong arus pertumbuhan sifat liar dari hasrat yang mengandung ketidaksadaran tersebut, Freud menciptakan sebuah sistem ketat triangulasi oedipal yang imajiner. Sistem  ini digunakan untuk menangkap aliran hasrat dan membunuhnya. Dari sana, sistem triangulasi oedipal tersebut akan melahirkan subjek-subjek yang telah dikebiri hasratnya dan siap masuk ke wilayah sosial.
Mungkin jika Becky hidup di dunia nyata dalam era Sigmund Freud saat itu, saya rasa ia tidak akan terlilit hutang yang begitu banyak. Ia tetap bisa menjadi seorang yang senang belanja tanpa keluar dari cetakan frame “karena benar-benar butuh”. Karena mungkin saja teori-teori skizoanalisis yang dilontarkan Freud bisa membantunya untuk sadar akan hasratnya yang berlebihan. Namun jika hal itu benar terjadi, maka rasanya belum tentu ada film Confessions of A Shopaholic ini dan hasrat saya akan tontonan film fesyen yang kemilau pun bisa jadi tidak terpenuhi. Jadi untuk anda yang memang suka berbelanja dan susah mengendalikan kegilaan hasrat yang anda miliki, tetaplah berbelanja. Namun ketika di kasir, ingatlah selalu bahwa “Kepuasan hasrat yang anda dapat dari belanjaan saat ini tidak menjamin adanya kebahagiaan yang utuh bagi anda kelak”. Selamat berbelanja![]


[1] Film: Confessions of A Shopaholic, Touchstone Pictures. Jerry Bruckheimer Films – Walt Disney Studios
[2] Hartono, Agustinus: Skizoanalisis Deleuze dan Guattari. Hal. 145 (Bab. Penutup)
[3] Hartono, Agustinus: Skizoanalisis Deleuze dan Guattari, hlm. 32 (Madan Sarup, Op. Cit., hlm. 34)

Aku dan Memancing


*Hampir saja hilang!
 Tulisan ini kudedikasikan untuk adik sepupuku yang saat itu masih duduk di bangku Kelas 3 SD.

“Wah, pagi yang indah!” hari ini aku terbangun dengan perasaan bahagia di hatiku. Sebab, ini hari Minggu. Hari yang selalu dinanti kedatangannya oleh semua anak-anak yang bersekolah. Begitu juga denganku. Hari ini, aku memang berencana untuk pergi memancing dengan Ayah. Menyenangkan bukan? Tentu saja. Sudah lama aku ingin pergi memancing. Dan kemarin ayahku berjani untuk mengajakku memancing hari ini.
Kenalkan, namaku Rahmat. Umurku 9 tahun. Aku adalah murid kelas 3 yang bersekolah di salah satu sekolah dasar di kota Serang, Banten.  Sekolahku merupakan salah satu sekolah paling maju di Desaku. Di sana aku diajari banyak hal oleh guru-guruku. Mereka adalah sosok orang tua yang tak kalah baiknya dengan ayahku. Ah iya, sudahkah aku memperkenalkan nama ayahku? Nama Ayahku adalah Mito. Setiap hari, jam 3 pagi, beliau selalu berangkat ke sawah. Berbekal sekotak nasi serta lauk-pauk buatan Ibuku dan sebuah cangkul, beliau mulai menggarap sawah untuk mencari nafkah bagi keluargaku. Itulah ayahku, sosok ayah pekerja keras.
Baiklah, kembali ke memancing. Jam 5 pagi, saat matahari masih enggan bangun dari tempat tidurnya, ayahku sudah membangunkanku. Beliau pun segera menyiapkan peralatan pancing yang kami butuhkan untuk memancing. Agar badanku segar dan terus semangat selama beraktivitas di kolam pemancingan nanti, tentu saja sebelum berangkat aku tak lupa untuk mandi dan menggosok gigi. Tujuannya sudah pasti agar badan serta gigiku senantiasa sehat dan bersih.
Mandi dan gosok gigi adalah kegiatan yang wajib dilakukan minimal 2 kali sehari. Untuk mandi yaitu di pagi dan sore hari. Sedangkan gosok gigi di waktu bangun tidur pagi dan menjelang tidur malam. Mengapa? Sebab, kata guruku, tubuh itu seperti sebuah mesin yang juga butuh dirawat oleh pemiliknya. Bukan hanya digunakan tanpa perlu dipikirkan kebersihannya. Karena, sakit itu berasal dari sesuatu yang tidak bersih. Jika tubuh kita tidak bersih, maka kita akan gampang sakit. Akibatnya, tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-hari dengan nyaman.
 Begitu juga dengan gigi. Wah, ini bagian paling penting bagiku loh! Hehehe… Gigi adalah unsur terpenting dalam mencerna makanan yang masuk ke mulut kita. Lewat gigi, kita bisa mengunyah tiap makanan yang kita makan. Karena itu, gigi perlu disikat minimal 2 kali sehari. Supaya gigi kita tetap sehat dan kuat. Sebab, jika tidak, maka sisa-sisa makanan yang melekat di sela-sela gigi kita akan dimakan oleh kuman dan bakteri dalam gigi yang berujung pada penggerogotan gigi kita oleh si kuman juga. Tuh kan, bisa gawat kalu gigi kita rapuh dan keropos. Bisa-bisa, mau makan enak jadi susah. Jadi, tidak ada salahnya kan menyempatkan diri untuk sejenak mengambil handuk dan sikat gigi untuk mandi dan gosok gigi minimal sehari 2 kali? Tidak merugikan, namun banyak untungnya.
            Kembali lagi ke memancing. Setelah mandi dan sikat gigi selama 15 menit, akupun segera memakai pakaian rapi dan bersih yang sudah disiapkan oleh ibu. Ya, sebuah celana pendek dan kaos santai serta topi kali ini menjadi kostumku untuk pergi memancing. Setelah aku siap, langsung saja aku dan ayah segera bergegas menuju ruang makan. Ibu selalu mewajibkan ku dan ayah untuk sarapan pagi terlebih dahulu sebelum beraktivitas.
 Pagi ini, ibu memasak makanan kesukaanku, yaitu nasi goreng. Ibu memasak dalam jumlah banyak. Sebagian akan dijadikan bekal makan siang kami saat memancing nanti. Kebetulan nih perutku sudah lapar. Piring yang sudah ibu sediakan di meja pun segera ku isi penuh dengan bersendok-sendok nasi goreng. Dan disaat aku sudah mau melahap sendok nasi goreng pertamaku, tiba-tiba ibu menegurku.
 Oh iya, ternyata aku belum mencuci tangan. Wah, hampir saja aku lupa. Bisa gawat kalau aku makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Bisa-bisa jutaan kuman yang ada di tanganku menari-nari bahagia karena bisa masuk ke perutku. Aduh, bisa sakit perut aku nanti. Akhirnya, aku pun mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menyuapkan nasi goreng ke mulutku. Dan setelah itu aku memanjatkan doa makan bersama ayah dan ibu. Ayah yang memimpin doa. Beliau mulai membaca Allahumma bariklana fii maa rozaqtana waqina adzabannar dan diikuti oleh kata “Amin” oleh aku dan ibu.
            Hem..enak! aku pun makan dengan lahapnya. Begitu juga ayah. Sebab, kami harus mengumpulkan tenaga untuk berperang melawan ikan-ikan nanti. Sudah lama aku ingin melakukan hal ini. Pulang ke rumah dengan membawa ikan untuk dimasak oleh ibu. Pasti rasanya akan lebih enak dari ikan-ikan biasanya. Tentu saja, karena ikan yang akan ibu masak nanti adalah ikan hasil pancinganku dan ayah.
            Setelah selesai makan, aku kembali mencuci tangan dan tidak lupa berdoa. Doa sesudah makan. Tapi, sekarang aku berdoa sendirian tanpa dipimpin oleh ayah. Sambil memanjatkan Alhamdulillah al-Ladzii Ath'amanii Haadzaa wa Razaqaniihi min Ghairi Haulin minni walaa Quwwatinaku menengadahkan kedua tanganku ke atas, tanda bahwa aku sedang mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan padaku.
            Hem, kenyang juga rasanya perut ini. Setelah semua persiapan selesai, kini aku dan ayah benar-benar siap untuk berangkat. Sambil menunggu ayah mengeluarkan motor dari dalam rumah, ibu memakaikan sebuah helm ke kepalaku. Kata ibu, helm adalah barang yang wajib dipakai setiap orang yeng mengendarai sepeda motor maupun sepeda biasa. Sebab, helm dibuat memang untuk melindungi kepala kita dari benturan keras jika memang terjadi kecelakaan ketika berkendara. Namun, tentu saja aku ingin sampai tujuan dengan selamat bersama ayahku. Dan karena aku adalah seorang muslim, maka aku memanjatkan doa keluar rumah yang bunyinya seperti ini:
بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
(Allahumma innii a’uudzubika an adlilla au udlalla, au azilla au uzalla, au azhlima au uzhlama, au ajhala au yujhala ‘alayya)
Artinya, “Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan selain dari Allah.”
Setelah ayah selesai mengeluarkan motor dan aku selesai berdoa serta memakai helm, kami berdua pun langsung tancap gas menuju lokasi pemancingan. Sebelum berangkat, tak lupa aku dan ayah pamitan pada ibu dan mengucapkan salam.
            Motor terus melaju mulus. Tidak kencang, namun tidak pula terlalu pelan. Ayah memang tidak suka membalap. Apalagi ayah bukan pembalap.  Kata ayah, biar pelan asal selamat. Jadi, kami pun berkendara santai sambil sesekali menghirup dalam–dalam udara pagi.
Kota tempatku tiggal masih tergolong hijau. Apalagi desaku. Di pagi hari saja, aku masih bisa mendengar kicauan burung yang bertengger di pohon. Nikmat bukan? Karena itulah aku sangat mencintai desaku yang asri itu. Wah, tak terasa setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 20 menit, kami tiba juga di kolam pemancingan. Sungguh, hatiku berdebar-debar saking senangnya!
            Ayah segera memarkirkan motor di tempat parkir yang sudah disediakan. Lalu, kamipun menuju loket pembayaran. Di sini aturannya mudah. Cukup membayar 10 ribu rupiah, kami bisa memancing sepuasnya. Dan batas jumlah hasil pancingan yag boleh dibawa pulang maksimal satu kilogram. Jika lebih dari itu, maka kami harus membayar lebih. Dan untuk harga, tiap jenis ikan memiliki harga yang berbeda-beda. 
Tak menyia-nyiakan waktu lama, kamipun segera mencari tempat yang nyaman. Ayah memilih untuk mengajakku duduk di bawah sebuah pohon yang terletak di dekat salah satu sudut kolam. Ya, kolam pemancingan ini berbentuk persegi panjang. Luasnya kira-kira ¼ dari luas lapangan sepakbola. Sangat luas kan? Dan lebih menariknya lagi, ada sangat banyak ikan di dalamnya. Baiklah, saatnya menguji peruntungan!
            Satu jam berlalu, rasa-rsanya aku mulai bosan. Dari tadi belum ada satu pun ikan yang kudapat. Ayah sendiri tampaknya mulai mengantuk. Kasian beliau, mungkin kelelahan gara-gara semalaman harus menjaga pos kamling dan berkeliling desa bersama beberapa warga hingga subuh menjelang.
Di desa kami, sudah 2 minggu belakangan dilakukan pengamanan ketat seperi ini. Sebab, 2 minggu yang lalu, di desa sebelah ada yang kehilangan motor. Jadi warga desaku ikut-ikutan waspada dengan menjalankan program ini. Wah, tega sekali ya si pencuri itu. Padahal sudah jelas-jelas mencuri itu perbuatan yang sangat tidak baik. Tidak terbayang bagaimana dosanya. Yang pasti, aku tidak mau seperti itu. Amit-amit deh..!
Tapi, itulah hebatnya ayahku. Meskipun lelah, beliau tetap menepati janjinya untuk mengajakku memancing. Sebab, kata beliau, janji itu seperti hutang yang wajib hukumnya untuk dibayar. Jika tidak, maka yang mengingkarinya tersebut akan berdosa. Dan sekarang lihatlah ayah, sudah tertidur pulas di sebelahku. Untung kami tadi membawa tikar. Dan untungnya juga aku membawa beberapa buku cerita supaya tidak bosan.
            Sambil menunggu salah satu ikan di kolam menyabet pancinganku, aku asyik membenamkan diri membaca salah satu buku cerita yang aku bawa. Buku ini seperti sebuah buku pelajaran biologi yang dikemas dalam bahasa yang mudah. Jadi aku bisa mencerna isinya dengan mudah pula. Dan sekarang aku sampai pada bab anatomi manusia.
 Anatomi adalah sebutan untuk ilmu yang mempelajari tentang tubuh manusia. Wow, keren sekali! Aku baru tahu kalau ternyata tubuh manusia itu cukup rumit. Ternyata tiap organ yang ada di tubuh manusia itu diciptakan untuk memenuhi fungsinya sendiri. Seperti yang tertulis berikut ini:

1. Kepala dan Leher
Organ tubuh yang satu ini letaknya berada di atas cerukan dada. Di bagian kepala sendiri terdapat suatu bagian lain yang bernama wajah. Dan wajah sendiri memiliki beberapa teman yang bernama mata (ada dua), hidung, mulut, dan alis (ada dua). Fungsinya pun berbeda-beda. Mata untuk melihat, hidung untuk bernafas dan mencium bau-bauan, mulut untuk makan dan bicara, serta alis untuk menahan keringat dan hujan yang mengenai dahi kemudian ke mata. Selain itu, di kiri dan kanan kepala terdapat sepasang telinga yang menempel. Fungsinya, tentu saja untuk mendengar. Di bagian atas kepala sendiri tumbuh bulu-bulu yang biasa kita sebut dengan rambut. Fungsi utama rambut sebenarnya adalah melindungi kulit kepala dari sengatan matahari dan hawa dingin. Namun dari segi penampilan, rambut dianggap sebagai mahkota. Semakin bagus rambut seseorang, biasanya akan dianggap lebih menarik penampilannya. Yang berikutnya yaitu leher. Leher berada di bawah kepala. Sekilas, tampak seperti sebuah penopang bagi kepala dan memiliki banyak fungsi. Namun fungsi yang utama yaitu memang untuk menopang kepala manusia.
2. Tangan
Tangan pada manusia normalnya terdiri dari tangan kiri dan kanan. Tangan memiliki banyak fungsi. Menulis, memukul bola, makan, menarik layang-layang, yang pasti sulit bagi manusia untuk hidup tanpa tangan. Tangan sendiri dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu lengan, siku, pergelangan tangan, telapak tangan, dan jari tangan.  Siku adalah penghubung lengan atas dan lengan bawah. Sedangkan pergelangan tangan adalah penghubung lengan bawah dan telapak tangan. Dan untuk memegang suatu benda, tangan kita menggunakan telapak tangan serta jari tangan.
3. Badan
Bagian ini terdiri dari bahu, dada, buah dada, tulang rusuk, pusar, perut, pinggul, organ seks, penis (laki-laki) dan vagina (perempuan). Bagian belakang terdiri dari tulang belakang dan pantat. Bahu terletak di kiri dan kanan antara dada dan leher. Dalam keseharian kita, bahu berfungsi untuk memanggul barang-barang. Mulai dari tas, karung beras, hingga cangkul para petani. Kemudian ada organ bernama dada. Di sinilah letak menempelnya buah dada laki-laki dan perempuan. Bagi perempuan, buah dada memiliki banyak fungsi. Salah satunya yaitu untuk menyusui anak. Selanjutnya yaitu tulang rusuk. Setiap manusia memiliki 12 pasang tulang rusuk. Dan fungsi utamanya adalah untuk melindungi dada. Lalu ada yang bernama pusar. Pusar adalah suatu tanda lubang tertutup di atas perut, yang dibuat oleh sengaja ketika tali pusar dilepas dan dipotong dari perut bayi yang baru lahir agar terlepas dari plasenta ibunya. Ketika kita masih berada dalam kandungan, semua nutrisi yang diterima untuk pertumbuhan janin itu diterima lewat tali pusar yang masih menyambung dengan perut kita. Namun setelah kita lahir, pusar sudah tidak berguna lagi. Oleh karena itu, ketika lahir, tali pusar dipotong dari perut bayi. Dari pusar, kita menuju perut. Yaitu tempat menempelnya pusar. Perut sendiri merupakan organ berongga seperti kantung yang berdinding tebal dan berotot. Dan di dalam perut terdapat beberapa saluran yang berfungsi untuk mencerna makanan. Menuju ke bagian belakang tubuh kita, terdapat tulang belakang dan pantat di sana. tulang belakang berfungsi di samping sebagai penyangga, juga memberikan perlindungan dan merupakan sendi gerak yang memungkinkan tulang belakang bergerak. Selanjutnya yaitu pantat. Pantat adalah tempat yang paling bau dari tubuh kita. Tapi walaupun bau  fungsinya sangat vital bagi kita.Yiatu sebagai tempat pembuangan kotoran dan gas yang berasal dari dalam tubuh kita.
4. Kaki
Kaki adalah sepasang organ yang ada pada tubuh kita yang selalu kita gunakan untuk berjalan. Dan kaki sendiri juga memiliki beberapa bagian. Diantaranya yaitu paha, lutut, betis, tulang kering, pergelangan kaki, telapak kaki, tumit, dan jari kaki. Paha adalah bagian tubuh yang menghubungkan pinggul dan lutut. Di dalam paha terdapat bagian yang bernama tulang paha. Tulang paha merupakan bagian tubuh terbesar dan tulang terkuat pada tubuh manusia. Dari paha, kita turun ke betis. Betis merupakan salah satu bagian penghubung, antara paha dan telapak kaki, juga berfungsi sebagai penunjang kaki. Meskipun terlihat tidak begitu penting, namun fungsi betis sangat penting. Telapak kaki kita tidak akan berfungsi dengan baik, jika tidak ada betis sebagai penunjangnya. Begitu juga dengan lutut. Lutut memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan betis. Kemudian ada telapak kaki. Telapak kaki adalah bagian bawah kaki manusia. Fungsinya yaitu sebagai penopang kaki. Dan yang terakhir adalah jari kaki. Salah satu fungsinya adalah untuk menopang kaki di saat pertama kali menginjak tanah.
            Ketika aku lagi asyik membaca dan sampai pada bagian kaki, tiba-tiba pancing di depanku bergerak-gerak. Seketika itu juga kuletakkan buku bacaanku dan kubangunkan ayah yang sedang tidur.
 “Yah, bangun yah. Ikannya makan cacingnya yah.”
Kugoyang-goyangkan tubuh ayah ke kiri dan ke kanan. Dan dengan berat hati serta setengah tersadar ayah pun bangun. Sambil menggerutu tidak jelas tentang kemungkinan ikan yang sedang memakan umpan cacing kami, aku pun menarik ayah lebih dekat ke kolam.
 Hap! Ayah pun segera menarik pancing yang bergerak-gerak itu. Hore! Kami mendapat seekor ikan lele yang ukurannya kira-kira sebesar kepalan tangan orang dewasa. Senang bukan main hatiku rasanya.setelah berjam-jam, akhirnya ada juga ikan yang mau memakan umpan kami.
Sembari ayah melepas si lele dari kail dan memasukkannya ke dalam ember ukuran sedang yang berisi air, aku pun bergegas mengambil cacing lain yang memang sudah kami persiapkan dan kami bawa dari rumah. Kali ini, aku ingin berperan serta dalam mengaitkan si cacing ke kail. Setelah dicontohkan oleh ayah bagaimana caranya, aku pun melakukannya dengan cara yang sama.
Kulemparkan senar pancingku kembali ke dalam kolam. Sekarang, saatnya menunggu kembali. Akupun sudah siap kembali ke buku bacaanku dan mengenal anatomi tubuh lebih jauh. Namun tiba-tiba ayah memanggilku. Aha, waktunya makan siang rupanya.
            Aku pun berlari-lari kecil menuju tempat ayah menggelar makan siang kami. Tidak jauh dari tikar tempat kami memancing tadi, ayah menyiapkan makan siang di sebuah gazebo. Dalam hati aku berteriak, “Nasi goreng, aku datang!” Dan ketika mau mengambil nasi, ayah langsung merebut piringku.
 Aku pun bingung. Ternyata, aku belum mencuci tangan. Ih, jorok sekali. Apalagi tadi aku habis memegang cacing. Wow, bisa dibayangkan kan berapa banyak kuman yang ada di tanganku. Kalau sudah begini, jadi teringat pesan Pak Sugeng, guru olahragaku.
 Beliau berkata bahwa cuci tangan itu ada aturannya sendiri lo. Pertama, basahi tangan kita sampai bersih dan rata dengan air bersih yang mengalir. Ke dua, beri sabun sampai berbusa secukupnya dengan sabung batang atau cair yang dapat membunuh kuman. Ke tiga, usap-usap kedua telapak tangan sampai rata.
 Ke empat, usap kedua bagian punggung tangan sampai merata. Ke lima, bersihkan jari dan kuku sampai bersih. Ke enam, bilas dengan air bersih yang mengalir sampai busa sabun tidak ada yang tersisa. Ke tujuh, lap tangan kita dengan lap tangan atau tisu (sekali pakai) yang bersih sampai kering. Dan yang terakhir, gunakan siku kita untuk menutup kran air atau bisa juga menggunakan lap atau tisu tadi untuk menutupnya.
Hem, kalau didaftar memang tampak cukup rumit. Namun, karena aku tidak mau sakit, maka aku akan malakukannya. Sebab, tangan yang kotor jika digunakan untuk makan dapat menyebabkan diare.
 Apalagi aku pernah membaca bahwa Veronique Taveau, juru bicara UNICEF (organisasi anak dunia) menyatakan bahwa lebih dari 5.000 anak-anak di dunia tiap hari meninggal karena diare. Sedangkan sebagian dari anak-anak itu bisa diselamatkan nyawanya dengan cuci tangan memakai sabun tiap kali akan makan atau setelah dari toilet.
Karena aku tidak akan pernah mau menjadi salah satu dari anak-anak penderita diare itu, maka aku segera bergegas menuju toilet umum di dekat gazebo. Dan aku berterima kasih pada ibuku. Mengapa? Karena selain membawakan aku dan ayah bekal nasi goreng, beliau juga membawakan kami sabun dan tisu untuk cuci tangan.
Aku pun dan ayah lagi-lagi menyantap masakan ibu dengan lahap. Lebih lahap dari tadi pagi ketika kami sarapan. Wajar lah, sebab kami baru saja merampungkan eberapa aktivitas. Rasa nasi gorengnya masi tetap enak meskipun sudah dingin. Ibu memang jago masak. Dan aku yakin, tiap masakan yang seorang ibu buat di dunia ini untuk keluarganya pasti memiliki rasa enaknya sendiri. Mengapa? Karena masakan yang dibuat seorang ibu sudah pasti pula dibuat dengan hati.
Setelah makan, aku tak lupa meminum air putih. Itu salah satu bagian dari bekalku dan ayah. Aku sangat suka minum air putih lo. Sebab, air putih sangat baik untuk kesehatan dan merupakan obat pencegah bermacam-macam penyakit. Tiap hari aku membiasakan diri paling tidak meminum dua liter air putih. Sebab, dari buku yang aku baca, itu takaran yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita akan air putih.
Berbeda dengan kebanyakan anak-anak di luar sana, aku bukan penggemar minuman bersoda. Apalagi minuman-minuman instan berbahan pengawet. Jarang aku meminumnya. Sebab, di dalamnya terkandung zat-zat yang dapat merusak tubuh jika diminum berlebihan. Apalagi soda. Jika dikonsumsi terlalu sering, dapat menyebabkan pengeroposan pada tulang kita. Oleh karena aku ingin tetap sehat hingga kakek-kakek nanti, maka dari sekarang aku mengontrol pola hidup dan makananku.
Makan telah usai. Perut pun sudah kenyang. Sekarang waktunya kembali memancing. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Dan cuaca pun sudah sangat panas. Untung kami membawa payung. Jadi setidaknya matahari tidak akan langsung menyengat menyentuh kulit kami. Ayah juga sudah tidak tidur lagi. Nampaknya lelah di tubuhnya telah usai.  Memancinglah kami berdua. Berharap supaya kali ini peruntungan kami lebih bagus. Sebab, hingga saat ini baru satu ikan lele yang kami dapat.
Di tengah-tengah penantian akan harapan ada ikan yang mau memakan umpan kami, ayah sesekali bercerita tentang masa mudanya. Ternyata ketika masih remaja, ayah adalah seseorang yang gampang terbawa arus pergaulan. Pernah suatu kali ketika sedang bermain sepak bola dengan kawan-kawannya, ada salah seorang kawannya yang menawarinya sebatang rokok. Awalnya ayah menolak. Namun lama-kelamaan rasa penasaran di dalam diri ayah akan rasa rokok semakin memuncak. Runtulah mental pertahanan ayah. Ayah remaja pun mulai menjadi seorang perokok.
Kini, dampak negatif dari merokok mulai ayah rasakan. Tidak jarang ayah batuk-batuk tidak karuan setiap hari. Dan kurang lebih sebulan yang lalu ayah harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena kandungan nikotin yang ada dalam rokok yang kemudian merusak paru-paru ayah.
Karena itu, kini ayah berulang kali memperingatkanku untuk jangan pernah sekalipun mencoba menghisap rokok. Sebab dampaknya bagi kesehatan sangat tidak baik, juga hanya membuang-buang uang saja. Selain itu, ayah juga berkata bahwa benda lain yang harus aku musuhi adalah minuman keras atau yang biasa disebut dengan minuman beralkohol. Meminum minuman alkohol secara berlebihan dapat menimbulkan gangguan mental organik (GMO).
GMO yaitu gangguan dalam fungsi berpikir, merasakan, dan berperilaku. Manusia yang mengalami GMO ini biasanya akan mengalami perubahan perilaku. Seperti misalnya, jadi suka berkelahi atau melakukan tindak kekerasan lainnya, tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan terganggu pekerjaannya.
Perubahan fisiologis juga dialami oleh para pengonsumsi minuman keras secara berlebihan ini. Perubahan fisiologis itu diantaranya seperti cara berjalannya tidak mantap atau sempoyongan, muka merah, serta mata juling. Dan secara psikologis, perubahan yang terjadi pada para peminum yaitu seperti menjadi mudah tersinggung, bicara ngawur, dan susah untuk konsentrasi pada suatu pekerjaan.
Bagi mereka yang yang sudah terlanjur ketagihan biasanya mengalami suatu gejala yang disebut dengan sindrom putus alkohol yaitu rasa takut diberhentikan dari meminum alkohol. Mereka akan sering gemetar, dan jantung berdebar-debar, cemas, gelisah, murung, dan  banyak berhalusinasi. Mengerikan bukan? Karena itu ayah menasihatiku untuk jangan pernah menyentuh minuman beralkohol. Sebab, secara disadari atau tidak, minuman beralkohol perlahan tapi pasti dapat merusak  masa depan kita. Padahal, kita semua, anak Indonesia adalah penerus bangsa ini. Jika para penerusnya saja rusak, bagaimana dengan nasib negara ini nantinya? Pasti akan semakin kacau.
Wah, sudah sore ternyata. Tak terasa memancing sambil mendengarkan nasihat dari ayah cukup menyita waktu juga. Dan percaya atau tidak, di akhir memancing kami, sudah enam ikan lele yang terkumpul. Ukurannya besar-besar lo. Ibu pasti senang dengan hasil pancingan kami ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 menjelang petang. Sudah saatnya kami pulang. Ayah pun mulai membereskan alat-alat memancing yang tadi kami gunakan. Dan aku pun membantunya dengan membereskan barang-barang bawaanku seperi buku-buku cerita dan payung.
Usai berbenah, aku dan ayah langsung pulang dengan menunggangi motor yang tadi kami gunakan untuk berangkat. Suasana sore hari nampaknya tidak jauh berbeda dengan pagi hari. Matahari tidak lagi memancarkan terangnya, dan seperti telah dikomando, burung-burung tampak berkelompok di langit dan bersama-sama terbang pulang ke rumahnya.
 Inilah alam. Ketika kita bisa bersahabat baik dengannya dan terus menjaga serta merawat keberadaannya, ia pun akan menyediakan kehidupan dan kekayaan yang berlimpah bagi umat manusia. Hidup menjadi damai, tentram, dan nyaman asalkan manusia bisa menyadari betapa alam harus dicintai selayaknya kita mencintai diri kita sendiri. Dan sambil memandang langit aku pun bisa melihat senyum ibu terukir indah di sana. Puas dengan hasil pancingan yang kubawa hari ini. Sungguh, hari ini adalah hari yang sangat indah bagiku.[]